Kamis, 08 Maret 2012

Pura Peninggalan Dang Hyang Niratha

 My Blog -  Dang Hyang Niratha atau yang terkenal di Bali Pedanda Sakti Wawu Rauh banyak meninggalkan peninggalan pura saat datang ke Bali, berikut contohnya :


PURA RAMBUT SIWI
Setelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan perjalanan bertirthayatra itu.

Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang biasanya pura itu dijaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci itu.

Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali. Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka. Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang merupakan rencangan parahyangan ini.

Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.

Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat persembahyangan itu.

Selanjutnya beliau memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan.

Para penduduk sangat sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau berada di sana.mereka memohon dengan sangat agar sang Mpu bersedia tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya. Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS PRANGBAKAT.

Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk memohon berkah. Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar masyarakat menjadi selamat dan tentram.


PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)
Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana. Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang, maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya kepada sang pendeta.

Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan alam yang dilaluinya dan dilihatnya. Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci suasananya. Lalu beliau berhenti di sana.
Kemudian dilihat oleh orang-orang penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang pendeta masing-masing membawa persembahannya. Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu. Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.

Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.


PURA ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG

Besok paginya setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu Dang Hyang Nirartha berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara dengan jalan darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung yang menonjol ke laut bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah yang beliau tuju. Perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut. Setibanya di sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa keadaan batu karang itu ke utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur serta diperhatikannya pula pemandangan yang ada di sana.

Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas ke seluruh dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu baik untuk memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat “ngeluhur” melepas jiwatmanya kelak ke alam surga. Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di tempat itu. Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di sebelahnya untuk menetap sementara mengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan membuat kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di sana.

Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama Pura Uluwatu. Di tempat asrama Mpu Dang Hyang lama-kelamaan didirikan juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.


PURA BUKIT PAYUNG
Setelah Pura Uluwatu selesai dan dinasihatkan kepada orang-orang di sana untuk menjaganya, maka Dang Hyang Nirartha melanjutkan perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit. Beliau kemudian tiba di goa Watu, dari sana menuju Bualu. Di sebelah tenggara Bualu ada sebuah tanjung, di sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan payungnya ke tanah, maka tiba-tiba memancar air dari dalam tanah,sangat suci dan hening.

Air itu dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang dekat di sana karena gembira hatinya seakan-akan mendapat anugerah air amrta (air kehidupan), maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Bukit Payung.


PURA SAKENAN
Setelah menyucikan diri di Pura Bukit Payung, maka Dang Hyang Nirartha berangkat ke arah utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana dijumpainya dua buah pulau batu yang disebut sebagai Nusa Dua. Di sana beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha yang melukiskan segala obnyek keindahan yang dilihat oleh beliau sepanjang perjalanan, digubah dijadikan sajak kekawin yang terikat dengan guru lagu. Setelah selesai mencatat kekawinnya, Dang Hyang Dwijendra melanjutkan perjalanan ke arah utara.

Tidak diceritakan halnya di tengah jalan maka sampailah beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat laut Serangan sang pendeta kagum memandang keindahan alam di sana, yaitu keindahan laut yang tenang berpadu dengan keindahan daratan yang mengelilinginya. Sang pendeta tak puas-puasnya memandang keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan di sana, dapat mempengaruhi batin menjadi tidak ternoda sedikit pun, sehingga beliau terpaksa berhenti dan menginap beberapa malam di sana.


Terasa oleh beliau bahwa di tempat itu ada sumber
kekuatan gaib yang suci, san baik sebagai tempat sembahyang memuja Tuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan. Sebab itu beliau membangun pula suatu kahyangan di sana diberi nama Cakenan (yang asalnya dari kata cakya yang berarti menyatukan pikiran). Puja wali dilakukan pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Kuningan, dan keramaiannya pada hari Umanis-nya (sehari sesudahnya).


PURA AIR JERUK
Setelah Pura Sakenan selesai dibangun, Dang Hyang Dwijendra keluar dari dalam pura lalu berangkat ke arah utara menumpang sebuah jukung, lalu mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu kejadian, yaitu ketika tongkat beliau dipancangkan, tidak berapa lama lalu keluar tunas dan hidup menjadi pohon sukun. Setelah beberapa hari ada di sana, beliau meneruskan perjalanan ke arah timur, tiba beliau di Udyana Mimbha (Taman Intaran). Dari sana sang pendeta meneruskan perjalanan ke arah timur laut, menyusuri pantai laut kemudian tiba di pantai selatan wilayah Bumi Timbul (Sukawati). Dari sana beliau masuk darat arah utara lalu tiba di sawah Subak Laba. Di sana sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-orang subak dengan buah jeruk yang sedap rasa airnya.

Di asrama tempat menginap Mpu Dang Hyang setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon nasihat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija lainnya menurut musim dan hari wewaran. Sejak sang pendeta ada di sana segala tanam-tanaman dan binatang ternak berhasil baik. Sebab itu setelah Mpu Dang Hyang pergi daroi sana, maka oleh orang-orang subak dibuatkan satu pura di bekas tempat asrama sang pendeta (yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh) diberi nama Pura Air Jeruk, tempat sembahyang mohon keselamatan tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan di sana ditanam satu pohon lontar sebagai peringatan ajaran agama yang diwejangkan oleh sang pendeta.


PURA TUGU

Diceritakan Dang Hyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba ke timur pula menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung lalu berbelok ke utara. Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu, sang pendeta lalu berhenti di luar suatu kahyangan. Kemudian keluar seorang pemangku dari dalam pura setelah menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang tengah berhenti di luar pura. Setelah bertemu, sang pemangku berkata dan menyuruh sang pendeta menyembah ke dalam pura. Dang Hyang tidak membantah, dan menuruti permintaan sang pemangku itu.

Beliau lalu masuk ke dalam pura. Sang pendeta duduk bersila di halaman pura berhadapan dengan bangunan-bangunan pelinggih, lalu melakukan yoga mengheningkan cipta menghubungkan jiwatmanya dengan Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan pelinggih itu semua. Sang pemangku bukan main terkejutnya dan terharu hatinya melihat keadaan itu, lalu menangis memohon ampun kepada Mpu Dang Hyang disertai permohonan agar sang pendeta berkenan pura itu kembali seperti sedia kala.

Dang Hyang Dwijendra meluluskan permohonan pemangku itu, lalu dengan yoga bangunan pura itu kembali seperti semula. Kemudian sang pendeta berkata, “Sri mangku, ini kancing gelung saya, saya berikan kepada mangku. Tempatkanlah di pura ini, dan sesudahnya kahyangan ini diberi nama pura Tugu,” Sangat gembira pemangku itu menerimanya dan berjanji akan melakukan segala nasihatnya.


GENTA SAMPRANGAN

Setelah selesai persoalan di pura Tugu maka Dang Hyang Nirartha meneruskan perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan lalu berhenti. Ketika beliau duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba terdengar oleh beliau suara genta yang dibunyikan memenuhi angkasa, sangat merdu dan indah didengar oleh sang pendeta, sehingga lama beliau termenung mengira-ngirakan darimana asal suara genta tersebut. Tidak lama setelah itu datanglah dari arah timur seorang pengalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang berkalung gentorag (genta) yang suaranya sangat indah didengar oleh sang pendeta, lalu dipanggillah pengalu itu.

Setelah ia mendekat, maka berkatalan Dang Hyang, “Bolehkah saya meminta gentorag kalung kuda saudara, untuk saya pergunakan dalam memuja, karena saya tertarik denga suaranya yang indah.” Orang pengalu itu demi mendengar kata sang pendeta demikian, dengan cepat membuka kalung kudanya, dan dengan khidmad serta tulus ikhlas menghaturkannya kepada sang pendeta. Ketika sang pendeta menerima genta itu dari tangan sang pengalu, beliau dengan gembira berkata, “semoga engkau selalu dalam perlindungan Sang Hyang Widhi.” Lalu genta itu bernama Genta Samprangan, karena didapat di Samprangan.


PURA TENGKULAK

Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di desa Syut Tulikup. Di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian datang beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat menyapa sang pendeta dan menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya. Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali, maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya yang muda (kuud) untuk dihaturkan kepada sang pendeta.

Yang disuruh segera memanjat pohon kelapa memetik sebuah kuud, dan sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian tampuknya), lalu dihaturkan kepada sang pendeta untuk diminum. Sang pendeta menerima kuud itu dengan ucapan terima kasih. Sebagai biasa apabila pendeta akan minum atau bersantap sesuatu apapun, selalu didahului dengan ucapan-ucapan Weda mantram yang mengandung ucapan syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sang pendeta meminum airnya, maka kuud itu dipecah dua untuk disantap isinya.

Sang pendeta menyantap isi kuud itu perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan orang-orang desa di sana. Orang-orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran mereka kurang memuaskan, karena sering dilanda penyakit dan tanamtanaman mereka kurang berhasil. Sang pendeta menasihatkan apabila terjadi halangan, agar beliau dipanggil secara batin, tentu beliau akan datang secara niskala memberi pertolongan memohonkan kepada Tuhan agar halangan itu dapat dimusnahkan.

Lalu sang pendeta berangkat ke arah selatan dan diiringi oleh orang-orang di sana sampai tepi pantai. Setiap malam, pecahan kuud yang isinya disantap oleh Dang Hyang dilihat oleh orang-orang menyala seperti bulan, sehingga seluruh orang desa dapat melihat pada malamnya kuud itu menyala gemilang bagai bulan, dan dapat dirasakan kalau di sana terdapat kekuatan gaib. Oleh karena itu orang-orang desa sepakat membuat suatu pura di sana untuk memohon kepada Tuhan demi keselamatan dan kemakmuran desa. Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.


PURA GOWA LAWAH
Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya. Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.
Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana. Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di sana, beliau lalu kembali ke Gelgel.

Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedat
angan sang pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan (kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).


PURA PONJOK BATU
Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian. Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya tiba di pantai barat laut dari gunung Agung. Di sana ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/ batu gunung yang ditutupi lumut menghijau.

Sang pendeta berhenti di sana dan duduk untuk melihat pemandangan laut. Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana. Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang membiru.

Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.
 

PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET

Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali, berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana, beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti. “Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang.
Pura Peti Tenget
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama bercengkrama di daerah pinggir laut.” Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata. “Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja Sesuhunan.” “Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang.

“Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!” Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti, tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Kerobokan. Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya diletakkan.

Pura Peti Tenget

Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak karena takut melihat perbawa Dang Hyang
yang suci itu. Makhluk halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan. Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu.

Setelah tiba di sana, tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur. 87 Pada suatu hari datang kepala desa Kerobokan bersama beberapa orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara Masceti.

Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Kerobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.


PURA LUHUR ULUWATU
Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata, “Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”

“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa bagai petir.

Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura Luhur Uluwatu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini